Minggu, 26 Februari 2012

Perbedaan: Rahmat atau Ancaman?

Robertus Suraji, M.A.*

Maaf mas, karena agama sampeyan berbeda dengan saya, maka kontrak saya batalkan”. Ari terhenyak mendengar suara bapak itu. Ia tidak menyangka kontrak warung yang telah disepakati dibatalkan karena alasan agama berbeda. Ari seorang pemuda lulusan SMP karena ketidakmampuan ekonomi keluarganya terpaksa berjualan bakso kelilingan. Sudah dua tahun ia mendorong gerobak bakso keliling kampung tiap sore hari. Kini setelah modal terkumpul, ia bermaksud membuka warung bakso dengan mengontrak sebuah warung. Harga kontrak telah disepekati, tetapi setelah si-empunya warung mengetahu agama Ari, kontrak tersebut dibatalkan. 
 
Saya tidak tahu apa ini sebuah kemajuan kesadaran keagamaan, atau kemunduran penghayatan nilai keagamaan. Dalam penalaran saya, kasus di atas memperlihatkan secara gamblang adanya kemunduran akan kesadaran mengenai hidup bersama dalam perbedaan. Hidup bersama dibatasi oleh adanya sekat yang namanya agama. Ini menjadi tantangan bagi kebinekaan dalam kesatuan yang sejak awal berdirinya bangsa Indonesia ini menjadi semboyan.

Pluralitas bangsa sebagai kenyataan
Gus Dur pernah cerita begini: Suatu kali KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat ketua partai NU dan Menteri Agama mendatangi rumah I.J. Kasimo yang saat itu menjabat sebagai ketua partai katolik dan Menteri Perekonomian. Wahid Hasyim mengajak Kasimo untuk membantu M. Natzir ketua partai Masyumi dan Menteri Penerangan yang saat itu sedang membangun rumah dan kesulitan biaya. Kisah yang sederhana, sangat manusiawi, tetapi sekaligus sangat indah. Tiga tokoh dari tiga aliran keagamaan dan politik yang berseberangan mampu hidup bersama dengan saling membantu. Dalam konteks jaman itu, peristiwa tersebut adalah peristiwa yang biasa, tidak terlalu istimewa, karena banyak orang juga melakukan hal seperti itu. Sekarang ini kerjasama dengan basis kemanusiaan lintas agama dan lintas partai seperti di atas menjadi hal yang langka dan luar biasa. Kisah seperti di atas, ketika saya masih kecil adalah hal biasa saya jumpai dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Perbedaan aliran keagamaan dan pandangan politik tidak menjadi halangan bagi orang untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah-masalah bersama di tengah masyarakat, khususnya masalah kemanusiaan. Ada semboyan yang dipegang bersama yaitu manungsa karo manungsa kuwi yen ketemu ngrembug perkara kamanungsan (manusia dengan manusia kalo bertemu mestinya bicara soal kemanusiaan). 
 
Berbicara soal kemanusiaan kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap manusia adalah unik adanya. Unik artinya bahwa tidak ada manusia yang sama persis baik fisik maupun psikis atau batinnya sekalipun mereka adalah kembar. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Barangkali beberapa orang dalam beberapa segi mempunyai kemiripan atau kesamaan, misalnya sama-sama orang Indonesia, sama-sama berambut keriting, sama-sama berbahasa Jawa, sama aliran agamanya, dan sebagainya. Namun itu berarti, sekaligus mengakui adanya pihak yang berbeda di sisi lain. Kita sama-sama orang Indonesia, berarti ada pihak yang bukan orang Indonesia. Kita sama-sama berbahasa Jawa, berarti ada orang lain yang tidak berbahasa Jawa. Demikianlah, perasaan adanya persamaan sekaligus menunjuk pada pengakuan akan adanya perbedaan atau pluralitas. Pluralitas ini akan terus ada sepanjang bumi masih berputar mengelilingi matahari. Perbedaan tempat di bumi ini akan menciptakan macam-macam perbedaan baik secara fisik, maupun cara menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya adalah penghayatan keagamaan. Orang yang lahir dan hidup di kutup utara tentu akan mempunyai ciri-ciri fisik dan cara hidup tertentu yang berbeda dengan orang-orang yang tinggal di tempat yang lebih sering terkena panas matahari. 
 
Dalam konteks hidup berbangsa, sejak awal bangsa Indonesia ini didirikan dengan kesadaran akan adanya perbedaan. Mengapa bangsa ini menjadi bangsa Indonesia, bukan bangsa Jawa, karena memang dimaksudkan bukan hanya mewadahi satu suku, satu bahasa, atau satu agama saja. Sejak awal para pendiri bangsa ini sadar bahwa bangsa yang akan dibentuk ini terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, dan banyak perbedaan lainnya. Namun demikian bangsa ini akan disatukan dalam komitmen untuk mempunyai tanah air, dan mempunyai bahasa persatuan. Selebihnya perbedaan adalah kenyataan yang mau tetap dihidupi bersama. Jadi yang membentuk bangsa ini bukan kesatuan suku, atau kesatuan agama, tetapi komitmen bersama untuk hidup bersatu dalam perbedaan. Meskipun berbeda suku, bahasa, agama dan lain-lain tetapi mau membangun hidup bersama sebagai saudara. Para pendiri bangsa telah sepakat untuk menjadikan perbedaan yang ada sebagai sarana untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka menghidupi semangat beda ning rukun. Untuk itu, PANCASILA ditetapkan sebagai dasar negara. 
 
Sebenarnya Pancasila kalau kita cermati bukan merupakan hal yang aneh atau baru dalam hidup bermasyarakat atau bernegara, bahkan merupakan keharusan bagi hidup suatu bangsa. Pancasila sebagai filosofi bangsa dan negara republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia (legal society) atau masyarakat hukum. Adapun negara yang dirikan oleh manusia itu, berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai makluk Tuhan Yang Mahaesa (hakekat sila pertama). Negara pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makluk berbudaya dan beradab (hakekat sila kedua). Untuk mencapai tujuan itu, negara membentuk ikatan persekutuan bersama sebagai bangsa (hakekat sila ketiga). Merupakan suatu keharusan bahwa negara harus bersifat demokratis, yaitu hak serta kewajiban rakyat harus dijamin baik secara individu maupun bersama (hakekat sila keempat). Kewajiban suatu negara adalah mewujudkan terselengarannya kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat (sila kelima). 
 
Akhir-akhir ini, rasanya komitmen bersama sebagai bangsa mulai ditinggalkan. Kalau bangsa ini ada dan terbentuk sebagai buah komitmen bersama, maka kalau komitmen tersebut ditinggalkan sebagai akibatnya bangsa ini pun tidak ada (hancur). Sekarang ini dapat dengan mudah dilihat adanya kelompok maupun perorangan yang memperjuangkan kepentingannya sendiri di atas kepentingan bersama. Sektarianisme berdasarkan agama atau suku mulai muncul. Kalau hal ini berjalan terus, kita tinggal menunggu waktu untuk melihat hancurnya bangsa ini. Sebagai orang beragama para pendahulu bangsa telah menetapkan KETUHANAN YANG MAHA ESA sebagai sila pertama dalam PANCASILA. Akan tetapi, sebagian anak bangsa ini telah mengubah sila pertama tersebut menjadi ke-uang-an yang mahakuasa. Bukti dari hal tersebut adalah mereka yang mempunyai uang dapat membeli hukum (contohnya Gayus sebagai tahanan dapat plesir kemana-mana). Semangat kebersamaanlah yang membuat bangsa ini dapat memerdekaan diri dari penjajah. Kalau semangat kebersamaan ini sudah tidak kita miliki maka dengan mudah kita akan terjajah oleh kepentingan-kepentingan asing yang hadir menguasahi bangsa ini dengan berbagai bentuknya.

Pluralitas sebagai tantangan
Di banyak tempat dan kebudayaan di negara ini kebersamaan sangat dijunjung tinggi. Bentuk-bentuk kebersamaan sungguh menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan dan pembangunan masyarakat. Gotong-royong salah satu wujud kebersamaan yang terbukti memampukan masyarakat bisa bertahan menghadapi krisis ekonomi, juga masalah-masalah kemanusiaan yang timbul karena bencana alam. Dengan demikian kebersamaan menjadi kekuatan bagi kehidupan masyarakat kita. 
 
Namun demikian, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa dimana kebersamaan ditekankan, perbedaan individu kurang mendapat tempat. Dalam kehidupan masyarakat dapat terjadi bahwa demi kebersamaan hak-hak individu dikorbankan. Ada situasi yang tercipta sedemikian rupa sehingga berbeda pendapat dengan mayoritas pendapat masyarakat saja sudah merupakan hal yang tabu. Situasi seperti tertulis di atas banyak terjadi juga dalam komunitas-komunitas keagamaan. Penyeragaman diciptakan demi sebuah harmoni kebersamaan. Sebagai akibatnya, orang menjadi tidak terbiasa dengan perbedaan. Jika ada orang yang berbeda pendapat maka dianggap nyleneh atau bahkan dianggap sebagai serangan yang dapat menjadi gangguan bagi kebersamaan. 
 
Alhasil orang menjadi lebih nyaman atau lebih cenderung untuk selalu bersama dengan teman yang tidak berbeda dalam banyak hal. Demi kenyamanan tersebut maka dibangunlah perumahan atau perkampungan berdasarkan agama tertentu. Atas nama kenyamanan yang serupa, kontrak warung yang sudah disepakati oleh Ari dalam kasus di atas dibatalkan. Dalam banyak kasus masalah yang dimbulkan karena perbedaan keagamaan menjadi yang paling sering terjadi. Barangkali hal ini karena dalam ajaran agama ada klaim kebenaran dan legitimasi-legitimasi yang tidak dapat diganggu gugat. Karena orang tinggal bersama dengan orang-orang yang sama entah dalam agama, atau suku, maka orang menjadi tidak pernah berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku atau agama. Pun akhirnya, orang tidak paham lagi mengenai cara hidup atau nilai-nilai yang diyakini agama atau suku lain tersebut. Sebagai akibatnya, orang mudah menjadi curiga kepada penganut agama atau suku lain secara berlebihan.

Menjadikan Perbedaan Sebagai Berkat
Sebagaimana tertulis di atas bahwa hubungan antar agama selama ini masih diwarnai oleh adanya prasangka negatif atau kecurigaan. Prasangka negatif tersebut selain disebabkan oleh luka masa lalu juga didukung oleh ketidaktahuan mengenai apa yang diyakini (agama) orang lain, dan tiadanya perjumpaan (silaturrahmi) lintas agama. Tiadanya perjumpaan dan ketidaktahuan membuat orang menduga-duga dan menafsirkan secara keliru apa yang dibuat atau diyakini oleh saudara yang beriman lain. Tidak jarang promosi yang salah mengenai agama orang lain sengaja digembar-gemborkan demi “kebanggan semu” kelompok agamanya. Dengan adanya perjumpaan lintas agama memungkinkan orang untuk mengenal dan memahami orang lain, baik pribadi orang yang tersebut maupun apa yang diyakininya (agama). Orang juga dapat belajar mengenai apa yang baik dari agama orang lain, dan untuk selanjutnya dapat memperkembangkan apa yang baik dalam agamanya sendiri.

Untuk dapat belajar dari agama orang lain dibutuhkan sikap kesediaan untuk menerima adanya perbedaan dalam hidup bersama. Sebagaimana tertulis di atas perbedaan adalah realitas dunia dimana kita hidup yang tidak dapat dipungkiri. Dunia tempat kita bersama hidup dibentuk oleh macam-macam perbedaan yang membuat dunia menjadi indah seperti taman bunga yang berwarna-warni. Di dunia ada macam-macam bahasa, warna kulit, kebudayaan, dan lain-lain yang tidak bisa disamakan yang membuat dunia ini disebut multi kultur. Demikian pula dalam keyakinan, ada beratus-ratus bahkan ribuan keyakinan yang ada di dunia ini. Adalah mustahil untuk menyamakan perbedaan keyakinan yang ada. Kita harus belajar untuk menerima dan menghargai bahwa pada kenyataannya orang lain berbeda dengan kita dalam banyak hal. Akan menjadi kesulitan dalam hidup bersama apabila ada orang yang memaksakan keyakinan dan kebenarannya. Menerima dan menghargai keyakinan orang lain tidak berarti bahwa kita harus setuju dengan keyakinan orang lain tersebut. 
 
Dengan belajar dari perbedaan tersebut kita memperkembangkan keber-agama-an kita menjadi lebih baik, dan kita dapat lebih mewujudkan agama kita dalam tindakan-tindakan bersama yang nyata. Dunia dimana kita hidup dipenuhi dengan berbagai macam persoalan, baik persoalan kemanusian, persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan, maupun persoalan ekosistem. Selain persoalan kebangsaan yang menuntut kebersamaan dan komitmen bersama, ada macam-macam persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, perdagangan perempuan, pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain yang menuntut perhatian dan kerjasama lintas agama untuk bersama-sama mengatasinya. Namun juga ada persoalan ekosistem seperti pengundulan hutan, pemanasan global, banjir, kesulitan air bersih dan lain-lain yang mendesak harus diperhatikan. Kiranya program kerjasama lintas agama perlu dibuat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di tengah kehidupan bersama.

Kata akhir
Hidup bersama akan menjadi indah andai mereka yang berbeda dapat bergandeng tangan. Dunia kita akan menjadi lebih damai andai agama-agama yang berbeda keyakinannya tidak saling bertentangan tetapi menjadi agen yang membawa pembebasan bagi manusia dari persoalan-persoalan kemanusiaan. Agama akan menjadi rahmat bagi semesta alam andai agama-agama berlomba-lomba menciptakan perdamaian dalam hidup bersama, dan saling bekerjasama untuk mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan masalah lingkungan hidup. Lebih lagi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan berjiwa besar kalau antar tokoh agama dan tokoh masyarakat bisa bekerjasama dalam membangun semangat nasionalisme seperti sudah ditunjukkan oleh Wahid Hasyim, Kasimo dan Natzir tokoh agama dan pahlawan nasional Indonesia.
*Ketua Bidang Komunikasi Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Purwokerto

Pluralisme Sebagai Rahmat Dan Aset Yang Besar


Bambang Sucipto*

Kita ketahui dan kita akui bersama bahwa bangsa Indonesia lahir secara kodrati sebagai negara yang pluralis ( beraneka ragam) baik suku, budaya, ras, agama, bahasa dan lain-lain dan dengan pluralisme indah bangsa Indonesia diakui sebgaai bangsa yang ber ” BHINEKA TUNGGAL IKA” dan menjadi negara yang besar.
Pluralis disatu sisi merupakan rahmat dan asset yang memiliki potensi yang sangat besar nilainya apabila dimenej dan dikelola dengan baik, dimana masing-masing pihak menyadari akan kekurangan, keterbatasan, kelemahan, serta kelebihan masing-masing pihak, dengan demikian akan dapat tumbuh rasa saling membutuhkan yang berimplikasi pada timbulnya kerjasama untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.

Namun disisi lain pluralis apabila tidak di menej dan dikelola dengan baik, akan dapat menjadi sumber konflik yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa yang sangat berbahaya akibatnya. Hal ini apabila pluralis itu dilihat hanya dengan kacamata perbedaan, sehingga satu dengan yang lain akan saling menonjolkan kelebihannya serta merasa yang paling besar peranannya.

Pluralisme dalam bidang agama dan kepercayaan, bahwa di Indonesia terdapat 6 agama yang disyahkan yaitu Islam, Budha, Hindu, Kristen, Katolik, Khong Cu (Konfesius) dan beberapa aliran kepercayaan. Dan aliran kepercayaan tersebut dihimbau agar kembali ke agama induknya serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Agama merupakan hak asasi yang paling asasiah / fundamental, karena agama merupakan hak yang bersumber langsung dari Tuhan Yang Maha Esa, maka secara konstitusional dijamin eksistensinya. Dan agama ini diyakini sebagai sumber inspirasi dan motifasi serta kekuatan ruhaniah yang sangat dominan terhadap segala gerak-gerik manusia baik sebagai individu maupun sosial dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius oleh karena itu tepatlah kiranya apabila ada yang berpendapat bahwa ”Substansi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia terletak pada kerukunan hidup umat beragama”. Apabila kerukunan hidup umat beragama tercapai maka kesatuan dan persatuan bangsa pun akan terwujud dan sebaliknya apabila kerukunan hidup umat beragama terganggu maka stabilitas nasional pun terancam.

Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kerukunan hidup umat beragama terwujud dengan baik dan stabilitas nasional mantap antara lain :
  1. Memahami berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama, serta melaksanakan dengan penuh kesadaran dan berkomitmen tidak hanya terbatas pada nilai-nilai tekstualitas, tetapi sampai pada nilai implisit filosofis (hikmah) regulasi dan kebijakan tersebut. Sebab kesempurnaan suatu regulasi tidak terletak pada kesempurnaan tekstualitasnya tetapi nilai semangat filosofis dan pelaksanaanya. Konsekuensinya bagi pemerintah dan pihak yang diberi amanat agar selalu meningkatkan sosialisasi regulasi secara kontinuitas kepada seluruh umat beragama.
  2. Bagi umat beragama agar lebih berkonsentrasi meningkatkan kualitas pemahaman ajaran agama yang berorientasi pada penguatan iman taqwa sesuai ajaran agama masing-masing. Jangan sebaliknya lebih berkonsentrasi pada pencarian kelemahan dan kesalahan ajaran agama lain dengan kaca mata dan ukuran keyakinan sendiri, dengan demikian akan tercipta kemantapan dalam beragama dan beribadah tanpa menyalahkan dan menjelekan agama orang lain.
  3. Optimalisasi lembaga dan forum-forum kebersamaan, dalam segala aspek kegiatan yang menyangkut lintas agama, (FKUB) tidak hanya berperan dan diperankan apabila ada permasalah umat beragama, akan tetapi sebagai sentral gerakan sosial keagamaan yang menyangkut lintas agama misal : kegiatan orang kristen yang berupa sumbangan sembako kepada non kristen, maka jangan langsung diberikan oleh orang kristen kepada non kristen tetapi harus dengan koordinasi dan a.n. FKUB - dari jamaat kristen berikan ke FKUB – dari FKUB mendistribusikan kepada pasar dan seterusnya. Disisi lain FKUB harus selalu memfasilitasi terjadinya sharing, diskusi, problem solving antar tokoh agama dan silaturahmi diantara mereka.
  4. Optimalisasi fungsi tempat ibadah jangan berhasrat memperbanyak pendirian tempat-tempat ibadah tetapi lebih mengoptimalkan pemanfaatan tempat-tempat yang sudah ada dan pendirian tersebut tidak hanya terfokus pada pemenuhan aturan-aturan saja tetapi lebih dari itu pemenuhan pemahaman dan kesadaran masyarakat lingkungan. Pendirian tempat-tempat ibadah jangan hanya mengedepankan aspek regulasi seperti PBM tetapi justru aspek sosial masyarakat lingkungan.
  5. Jadikan tempat ibadah sebagai majlis penguatan persatuan dan kesatuan ”Ukhuwah”. Tempat ibadah yang bersifat umum dan milik umat umum bukan milik perseorangan / golongan tertentu, agar dapat mengakomodir semua golongan yang ada untuk dapat beribadah dan menggunakan tempat tersebut dengan baik, jangan ada pihak/golongan yang mengklaim tanpa mengakomodir pihak/golongan yang lain misal masjid umum, (interen umat beragama), masalah tarwih 8, 20, atau 36 rokaat, maka mereka harus terakomodir tanpa mengorbankan keyakinan dari pihak-pihak yang ada, yang 8 bisa, yang 20 bisa dan yang 36 pun bisa dalam satu majlis satu malam dan satu jama’ah sholat, soal kaifiyah dapat diatur, tinggal itikad niat baiknya ada apa engga – itu Persoalannya !?. Misal tentang imamnya pertama yang 8 rakaat –selesai, maju yang 20 rakaat, meneruskan selesai, majulah yang 36 rakaat meneruskan. Demikian secara kontinuitas Insya Alloh baik dan diterima ibadahnya. Tetapi kalau tidak, hanya saling mengklaim yang paling syah, paling baik, paling afdlol ibadahnya, Insya Alloh walau benar tetapi rusak nilai ibadahnya, hilanglah pahala dan tidak diterima oleh Alloh Swt, merugi semuanya.
  6. Jangan menyalahkan atau merubah budaya atau adat yang berkaitan dengan ritual keagamaan yang sudah mengakar pada umat beragama dengan hanya mendasari pada keyakinan dan pandangan kacamatannya sendiri, lebih baik dengan jalan sharing, diskusi sehingga kalau memang kurang pas dan perlu diluruskan agar dilakukan dengan evaluasi pemahaman dan kesadaran serta dengan cara-cara yang hikmah.
  7. Jangan merasa diri atau golongannya yang paling benar, serta jangan menyampaikan sesuatu yang bersifat komplain, sinisisme, atau pendiskriditan ajaran agama / golongan lain yang dipandang salah / tidak pas dihadapan publik umum, media terbuka dan lain-lain. Kedepankanlah nilai toleransi dan saling menghormati karena sangat mungkin dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki apa yang dilakukan oleh orang / golongan yang lain itu benar hanya diri kitalah yang belum mengetahui dasar-dasarnya.

Kita sebagai generasi penerus, kita teruskan warisan pendahulu kita yang berjiwa luhur, rukun walau berbeda, guyub dengan siapa saja dan tetap bersahaja dimana saja berada. tegakan dengan penuh komitmen Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
*Kepala Kantor Kemenag Banyumas

Kontak Kami

Sekretariat :
Komplek Kemenag Jl. Mayjend Panjaitan No. 438 Purwokerto
Pesantren Mahasiswa An Najah Jl. Moh. Besar Kutasari Purwokerto (0281) 6572472
Keuskupan Jl. Gereja No. 03  Purwokerto (0281) 635632

Email redaksi :
fkubbms.bener@gmail.com

Telp redaksi :
Dimas 085741060425
Alfian 085642722740
Arif 085643668173

Sabtu, 25 Februari 2012

Hal Memaafkan


GMS. Agung Basuki, S. H.*
Di dalam semua ajaran agama apa pun, kepada umatNya pasti di'ajarkan untuk "memaafkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang lain" Kesalahan dan kelakuan yang dimaksud adalah..kesalahan-kesalahan dalam hubungan sosial, kemanusiaan. Sebagai mahluk sosial, manusia dalam berkomunikasi sangat dekat dengan, kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan,- baik yang disengaja mau pun tidak disengaja, akibatnya hubungan antar manusia menjadi terganggu, dengan orang lain, teman bahkan saudaranya sendiri; hidup merasa tidak nyaman, orang terbiasa dengan budaya neng-nengan (saling diam tidak bertegur sapa), anehnya hal ini bia dilakukan berhari-hari bahkan bertahun-tahun.
Rasa cemburu seringkali merusak hubungan antar manusia. Ini sangat sering terjadi di dalam kehidupan kita. Rasa cemburu dalam diri pasangan suami-istri, tidak jarang bukan hanya meretakkan tetapi menghancurkan sebuah perkawinan. Rasa cemburu dalam persahabatan, tidak jarang juga memutuskan relasi persahabatan. Demikian juga, rasa cemburu dalam keluarga yang disertai rasa iri bahkan bisa menjauhkan saudara atau saudari sedarah.
Dalam hal memaafkan orang, dibutuhkan keberanian dan kejujuran untuk membuka hatinya, sebaliknya juga dalam hubungan antar pribadi orang yang merasa bersalah dibutuhkan pula keberanian dan kejujuran untuk mengungkapkan kesalahannya kepada orang lain. Memaafkan ada yang bersifat terbuka dan tersembunyi. Terbuka adalah memaafkan orang lain yang diketahui banyak orang, sedangkan tersembunyi memaafkan orang lain di dalam hati dan tanpa ekspresi dan menyimpannya dalam hati sekaligus mendoakan kepada orang yang menaruh curiga, atau menilai sesuatu yang salah kepada kita.
Ada kata-kata keluhan yang sering kita dengar "mau berbuat baik saja kok susah ya? " Ya, inilah ironisnya hidup, banyak orang yang "curiga" dengan banyak hal di dunia ini, termasuk perbuatan baik seseorang. Banyak juga orang yang nyata-nyata tidak suka melihat seseorang berbuat baik pada orang lain, selalu saja ada "alasan" yang dipakai untuk mencari "ketidak baikan" kebaikan itu. Mungkin tanpa kita sadari, kita termasuk dalam salah satu diantara orang banyak itu.
Melatih kebiasaan berbuat baik dengan sendirinya akan menjadikan kebaikan menjadi 'nafas' dalam hidup kita. Semakin dibiasakan kebaikan itu semakin menghidupi kita dan pada akhirnya kita akan menjadi biasa juga menerima kebaikan orang lain.
Kalau kita bisa menjalani proses hidup ini dengan pola pikir yang sederhana, dan melihat orang lain adalah lebih utama dari kita sendiri, niscaya untuk membuka pintu maaf hati, kepada sesama umat manusia akan sangat mudah dan ringan, dengan bekal kasih dan cinta dan memandang orang lain lebih mulia dan utama dari pada saya.

Pertanyan orang beriman : "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" JawabNya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali"
Sebuah kerendahan hati, intropeksi diri, kejujuran dan kerelaan untuk mencintai sesama dibutuhkan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Pengampunan harus diberikan dengan gratis alias cuma-cuma, ingat ketika Tuhan mengampuni segala dosa-dosa dan kesalahan kita dengan penuh kasih dan cuma-cuma. .apakah kita sebagai hambaNya, mengampuni dan memaafkan sesama umat manusia harus meminta ganti rugi, harus minta penebusan?..rasanya ini tidak adil
*Sekretaris FKUB Banyumas

Halal bi Halal, Momentum Memaafkan

Dr. HM. Najib, M.Hum*


Ketika merayakan lebaran, umat Islam larut dalam rasa suka cita. Silaturahmi yang berangkat dari sentuhan kemanusiaan yang mendalam menjadi sebuah ritus keniscayaan. Pada saat silaturahmi, orang begitu gampang saling memaafkan sehingga kerendahatian betul-betul menyejukkan kalbu. Kondisi ideal yang demikian merupakan puncak dari sebuah perjalanan spiritual, yang ditempuh dengan menahan rasa lapar dan dahaga selama Ramadan. Ujungnya adalah tercapainya atmosfer batiniah-esoteris di mana segenap orang-orang beriman yang berpuasa bakal kembali kepada kesucian ('idulfithri).

Kegemilangan merampungkan ibadah ramadan akan menjadi batu loncatan terwujudnya spirit egaliterianisme dalam Islam; semangat yang sangat menjunjung tinggi persamaan dengan tidak berlaku diskriminatif kepada sesama hamba Tuhan. Salah satu ibadah yang sangat otoritatif dan relevan dalam meneguhkan semangat egaliter ini adalah kesudian untuk saling memaafkan.

Pada hari lebaran itu, antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi disebut hari lebaran. Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain. Hal ini harus segera minta maaf, kepada orang tersebut. Allah lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Q.S. 3: 134)

Para ulama di jawa tampaknya ingin mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk rneningkatkan iman dan taqwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya diwaktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya terhapus jika dia masih bersalah kepada orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka ?
Nah, disinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu antar lain perlunya saiing memaafkan yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Dengan demikian, karena puasa telah lebar (selesai) dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).

Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini merupakan refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.

Sebagai sebuah tradisi khas, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Firman Allah (Q.S. 3: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang Iain. Dari ayat tersebut, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan.

Dapat dimengerti, bahwa tradisi lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antar unsure budaya Jawa dan budaya Islam. Sampai tahap ini, halal bihalal telah berfiingsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat dari berbagai tingkatan sampai pada lintas agama yang dilaksanakan baik oleh kelompok-kelompok keluarga, ormas, bahkan instansi swasta juga pemerintahan. Dengan adanya acara saiing memaafkan, maka hubungan dalam masyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeiuargaan. Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihaiai perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita tercinta sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.

Perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain tidak semata-mata diiakukan saat lebaran, akan tetapi harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihaial yang merupakan tradisi khas, merefleksikan bahwa Islam merupakan agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling ber!omba-lomba dalam kebajikan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah (Q.S. 2:148), "maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan".. Titik tekan ayat tersebut adalah pada kebaikan dan perilaku yang berorientasi pada nilai.

Berangkat dari makna halal-bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan sal ing berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia. Akhirnya, Islam di wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini merupakan rohmatan liFalamin membawa kenyaman, kedamaian serta keraajuanbangsa Indonesia.
*Dewan Pembina Agama Islam FKUB Banyumas

Guyub-Rukun Perlu Modal

Oleh Ahmad Tohari*

 
Untuk membangun kondisi guyub rukun dalam kehidupan bermasyarakat termasuk di bidang keagamaan diperlukan modal. Dan modal itu wajib dimiliki oleh individu maupun kelompok. Tanpa modal yang bersifat dasar itu kondisi guyub-rukun akan amt sulit dtegakkan. Apakah modal itu? Tak lain adalah kesadaran yang mendalam akan obyektifitas kenisbian manusia.

Karena diciptakan maka manusia bersifat nisbi atau relatif, dan yang berhak atas kemutlakan atau absolutitas hanyalah Tuhan Sang Pencipta. Sebagai yang nisbi hidup manusia berproses menuju (kembali ke) Sang Mutlak, sangkan-paraning dumadi
 
Juga karena obyektifitas kenisbian yang melekat kepada setiap manusia maka tingkat atau pencapaian “kebenaran” yang bisa diraih tidak bisa dimutlakan, tak terkecuali kebenaran dalam keyakinan agamanya. Tunggu, ini krusial. Maksud saya begini: setiap pemeluk agama tentu benar-benar yakin akan kebenaran agamanya. Kepada diri, dan mereka yang seagama keyakinan itu pantas ditanamkan sedalam-dalamnya. Ya, buat apa memeluk suatu agama kalau orang tidak yakin akan kebenarannya.

Namun apakah kebenaran itu mencapai tingkat puncak atau mutlak? Pertanyaan ini muncul secara alamiah karena fakta dalam kehidupan, di semua agama terdapat kemajukan internal yang sudah muncul di sejak tahun-tahun awal kelahiran agama itu dan terus melebar hingga saat ini. Dalam agama Kristen ada Protestan, Katolik, Anglikan dan ratusan lainnya. Dalam agama Islam ada Suni, Syiah, dan ratusan lainnya. Demikian juga pada agama selain Kristen dan Islam. Apakah hal ini janggal? Tidak, malah kodrati dan sekaligus menunjukkan dan meniscayakan kenisbian manusia.

Orang yang beragama dalam kenisbian tetap meyakini kebenaran agama bahkan faham atau alirannya. Namun ketika bergaul dengan mereka yang berbeda agama, keyakinan itu hanya tersimpan di hati karena ia merasa harus memberi ruang kepada mereka untuk meyakini kebenaran agama mereka bagi mereka sendiri. 
 
Bahkan dalam internal agama, orang NU misalnya tidak pantas merasa pemahamannya terhadap Islam lebih benar daripada orang Muhammadiyah, dan sebaliknya. Kepada masyarakat nonmuslim orang Islam tidak pada tempatnya mengatakan Inna diina ‘indallahil islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam). Yang pantas diungkapkan adalah lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Antarsesama muslim yang berbeda aliran, adabnya adalah bersikap bagimu amalmu dan bagiku amalku. Dan semua ini, baik sikap terhadap saudara non atau sesama muslim harus dibingkai dengan pigura emas yang bernama ikhlas dan hati yang tulus yang diharapkan muncul dari kesadaran kenisbian itu: Bahwa benar mutlak adalah wilayah ilahi dan bahwa setinggi-tingginya tingkat kebenaran yang bisa dicapai manusia hanyalah kebenaran manusiawi.

Dalam kesadaran sama-sama tidak bisa sampai kepada kemutlakan maka manusia dari berbagai latar agama, ras maupun kebudayaan merasa berada dalam satu wadah yang bernama kenisbian atau kerelatifan. Kesadaran ini diharapkan bisa menjadi benih keinginan untuk urip brayan, senasib sepenanggungan, guyub rukun dalam menghadapi masalah kehidupan yang membutuhkan sikap kebersamaan. Rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. 
*Dewan Penasehat FKUB Banyumas

Rukun Agawe Santosa

Ir. Made Sedana Yoga, MS*
Konsep Rukun Dan Santosa Umat Hindu menurut pengertian Veda pada hakikatnya merupakan bagian dari manusia lainnya, tak terpisahkan dari seluruh ciptaan Tuhan ( Sang Hyang Widi Wasa ), penguasa dan penakdir segala ciptaan-Nya di alam semesta ini. Manusia Hindu tidak dapat memisahkan dirinya untuk sebuah perbedaan, karena ia berasal dari yang satu, serta pada akhirnya akan kembali kepada yang satu jua (Sang Hyang Widhi).

Demikianlah di dalam pustaka suci Veda dinyatakan sebuah kalimat: " TAT TVAM ASI " yang bermakna: " Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Aku adalah Dia, Engkau adalah Aku, dan seterusnya… " bahwa setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Sesanti ' Tat Tvam Asi ' ini menjadi landasan etik dan moral bagi umat Hindu di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis. Berpedoman pada filsafat " Tat Tvam Asi " maka umat Hindu sebagai bagian dari warga Bangsa Indonesia wajib mengamalkan ajaran agamanya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Umat Hindu harus mengabdi bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, serta demi keluhuran harkat dan martabat umat manusia di dunia ini. Apa saja yang menjadi masalah bangsa kita adalah masalah yang harus dihadapi bersama oleh seluruh bangsa termasuk umat Hindu, dengan bekerja sama bahu membahu dalam suasana kerukunan sejati dengan sesama umat beragama dan sesama warga negara Indonesia lainnya. Umat Hindu tidak boleh melepaskan keterkaitan dirinya, baik secara pribadi maupun kelompok sebagai warga negara Kesatuan Republik Indonesia, karena agama Hindu mengajarkan kewajiban moral pengabdian terhadap Negara yang disebut " Dharma Negara " dan kewajiban moral mengamalkan ajaran agamanya disebut " Dharma Agama ".

Sebagai warga negara, umat Hindu harus tunduk dan patuh kepada konstitusi serta berupaya membudayakan nilai-nilai Pancasila pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari secara nyata. Oleh karena itu dalam rangka sosialisasi dan inkulturasi nilai-nilai luhur agama dalam proses pembangunan nasional maka umat Hindu harus mengamalkan ajaran agamanya secara benar dengan mengupayakan revitalisasi terhadap mantra-mantra/ayat-ayat suci Veda sehingga mampu memberikan kontribusinya terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional menuju masyarakat madani.

Dengan demikian maka umat Hindu akan dapat berjalan seiring, selaras, serasi dan seimbang dengan umat lain karena memiliki dasar pandangan yang sama di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pada itu maka suasana kebersamaan dan kerukunan umat beragama, maupun sinergi suku, ras, antar golongan yang penuh perdamaian dan didorong oleh rasa kesadaran nasional niscaya akan terwujud dengan harmonis. Kesadaran nasional sebagai esensi bangsa, yang memiliki kehendak untuk bersatu harus mempunyai sikap mental, jiwa dan semangat kebangsaan ( nasionalisme ) sebagaimana disitir oleh Hans Kohn " sebagai tekad suatu masyarakat untuk secara sadar membangun masa depan bersama, terlepas dari perbedaan ras, suku ataupun agama warganya ". Svami Chinmayananda dalam bukunya " The Art of Living " menyatakan bahwa sekelompok manusia yang tinggal di suatu bagian geografis tertentu tidak dapat disebut bangsa, tetapi hanya merupakan sekelompok manusia. Apabila kelompok semacam itu hidup bersama dalam kerukunan dan berupaya untuk mencapai suatu tujuan yang sama, barulah ia dapat disebut " bangsa ". Kualitas suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas individu warga negaranya yang memiliki rasa persaudaraan, kasih sayang dan pengertian yang integratif. Selanjutnya dikatakan bahwa suatu Negara Kesatuan, dimana setiap warga negaranya berupaya untuk mengabdi dan melayani tanpa motif pribadi maka akan menjadi bangsa yang besar, kuat dan berprestasi.

Bagi kita bangsa Indonesia cita-cita masa depan yang akan dibangun adalah suatu masyarakat madani yang adil dan makmur materiil dan spiritual dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam suasana peri kehidupan yang aman, tentram, tertib dan dinamis, serta dalam suasana pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Hal ini sejalan dengan tujuan agama Hindu yaitu " Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharmah ". 

Sehubungan dengan itu, maka filsafat " Tat Tvam Asi, Dharma Agama, Dharma Negara " yang mewujud ke dalam pengamalan ajaran Tri Hita Karana adalah merupakan konsep pemikiran Hindu yang menjadi dasar etik dan moral dalam menjalankan kewajiban hidup baik sebagai manusia pribadi, sebagai warga negara maupun sebagai umat beragama yang " dharmika " yaitu umat yang sadar akan hak dan kewajibannya. 

Konsep pemikiran Hindu dalam rangka mendukung terwujudnya kerukunan dan perdamaian dalam kehidupan bernegara kesatuan harus dilandasi etik dan moral ajaran Veda yang diaktualisasikan dalam sikap sebagai berikut :
Dalam rangka meningkatkan kerukunan hidup menuju perdamaian dalam kehidupan bernegara, maka ajaran Tri Hita Karana harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari secara nyata yang meliputi
a. Hubungan manusia dengan Sang Pencipta dalam wujud bhakti yang murni.
b. Hubungan manusia dengan sesama warga negara dan atau sesama umat manusia dalam
Wujud kebersamaan/perstuan sejati
c. Hubungan manusia dengan lingkungan secara harmoni.

Hubungan manusia dengan sesama manusia / warga bangsa hendaknya mengarah kepada kerukunan, persatuan dan persatuan baik dalam cita-cita, pikiran maupun sikap dalam menghadapi masalah bangsa dan negara menuju kebahagiaan perdamaian yang kekal. Kitab suci Rg Veda X.191.sloka 2 dan 3 menyatakan :

" Sam gacchadhvam sam vadadhvam
sam vo manamsi janatam
Deva bhagam yatha purve
Samjanana upasate."
" Samano mantrah samitih samani
samanam manah saha cittam esam
Samanam mantram abhi mantraye
yah samanena vo havisa juhomi."
Artinya :
" Wahai manusia, berjalanlah kamu seiring, berbicara bersama dan berfikirlah kearah yang sama, seperti para Deva dahulu membagi tugas mereka, begitulah mestinya engkau menggunakan hakmu."
" Berkumpullah bersama berfikir kearah satu tujuan yang sama, seperti yang telah Aku gariskan. Samakan hatimu dan satukan pikiranmu, agar engkau dapat mencapai tujuan hidup bersama dan bahagia. "
Agama hindu mengajarkan kita dalam menciptakan kerukunan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat diperoleh dalam ajaran Tri Kaya Parisudha (Manacika, Wacika, Kayika ) Manacika adalah pikiran, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk bisa berpikir yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas berpikir yang baik dan benar adalah : Berpikir positif, Bersih, jernih, Obyektif dan bepikir yang bermanfaat.
Wacika adalah perkataan, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk bisa berkata atau berwacana yang baik dan benar. Dalam penjabaran yang lebih luas yang dimaksudkan berkata yang baik dan benar adalah sebagai berikut:
  • Mengandung makna yang baik dan mulia
  • Menggunakan kata dan kalimat yang sopan
  • Diucapkan secara baik dan jelas
  • Menggunakan suara yang dapat didengar secara jelas dan enak
  • Terbatas pada hal-hal yang perlu saja
  • Tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kemarahan orang lain.
Kayika adalah perbuatan, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk bisa berbuat atau melakukan aktifitas yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas yang dimaksud dengan berbuat yang baik dan benar adalah sebagai berikut:
  • Melakukan sesuatu untuk keperluan memenuhi kewajiban, memberi manfaat, memperoleh kebajikan, mencapai kesejahteraan dan untuk keselamatan.
  • Mengacu pada nilai nilai agama, budaya, hukum dan alat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai nilai lainnya.
  • Kepentingan diri sendiri dan orang lain diletakan secara proporsional, adil dan bermartabat.
  • Dilakukan secara tertib, teratur dan sopan.
  • Dapat mencapai tujuan, tanpa melanggar aturan dan tidak menimbulkan gangguan dan kerugian.
Ajaran Tat Tvam Asi, Tri Kaya Parisudha, Dharma Agama dan Dharma Negara hendaknya dapat mewujudkan konsepsi / ajaran Tri Hita Karana kedalam kehidupan nyata sehari-hari sehingga konsep pemikiran Hindu tentang kerukunan dapat membuat keadaan aman, selamat dan tentram dalam kehidupan bernegara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
*Dewan Pembina Agama Hindu FKUB Banyumas