Robertus
Suraji, M.A.*
“Maaf
mas, karena agama sampeyan berbeda dengan saya, maka kontrak saya
batalkan”. Ari terhenyak mendengar suara bapak itu. Ia tidak
menyangka kontrak warung yang telah disepakati dibatalkan karena
alasan agama berbeda. Ari seorang pemuda lulusan SMP karena
ketidakmampuan ekonomi keluarganya terpaksa berjualan bakso
kelilingan. Sudah dua tahun ia mendorong gerobak bakso keliling
kampung tiap sore hari. Kini setelah modal terkumpul, ia bermaksud
membuka warung bakso dengan mengontrak sebuah warung. Harga kontrak
telah disepekati, tetapi setelah si-empunya warung mengetahu agama
Ari, kontrak tersebut dibatalkan.
Saya
tidak tahu apa ini sebuah kemajuan kesadaran keagamaan, atau
kemunduran penghayatan nilai keagamaan. Dalam penalaran saya, kasus
di atas memperlihatkan secara gamblang adanya kemunduran akan
kesadaran mengenai hidup bersama dalam perbedaan. Hidup bersama
dibatasi oleh adanya sekat yang namanya agama. Ini menjadi tantangan
bagi kebinekaan dalam kesatuan yang sejak awal berdirinya bangsa
Indonesia ini menjadi semboyan.
Pluralitas
bangsa sebagai kenyataan
Gus
Dur pernah cerita begini: Suatu kali KH. Wahid Hasyim yang saat itu
menjabat ketua partai NU dan Menteri Agama mendatangi rumah I.J.
Kasimo yang saat itu menjabat sebagai ketua partai katolik dan
Menteri Perekonomian. Wahid Hasyim mengajak Kasimo untuk membantu M.
Natzir ketua partai Masyumi dan Menteri Penerangan yang saat itu
sedang membangun rumah dan kesulitan biaya. Kisah yang sederhana,
sangat manusiawi, tetapi sekaligus sangat indah. Tiga tokoh dari tiga
aliran keagamaan dan politik yang berseberangan mampu hidup bersama
dengan saling membantu. Dalam konteks jaman itu, peristiwa tersebut
adalah peristiwa yang biasa, tidak terlalu istimewa, karena banyak
orang juga melakukan hal seperti itu. Sekarang ini kerjasama dengan
basis kemanusiaan lintas agama dan lintas partai seperti di atas
menjadi hal yang langka dan luar biasa. Kisah seperti di atas, ketika
saya masih kecil adalah hal biasa saya jumpai dalam hidup sehari-hari
di tengah masyarakat. Perbedaan aliran keagamaan dan pandangan
politik tidak menjadi halangan bagi orang untuk bekerjasama dalam
mengatasi masalah-masalah bersama di tengah masyarakat, khususnya
masalah kemanusiaan. Ada semboyan yang dipegang bersama yaitu
manungsa karo manungsa kuwi yen ketemu ngrembug perkara
kamanungsan (manusia dengan manusia kalo bertemu mestinya bicara
soal kemanusiaan).
Berbicara
soal kemanusiaan kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap
manusia adalah unik adanya. Unik artinya bahwa tidak ada manusia yang
sama persis baik fisik maupun psikis atau batinnya sekalipun mereka
adalah kembar. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Barangkali beberapa orang dalam beberapa segi mempunyai kemiripan
atau kesamaan, misalnya sama-sama orang Indonesia, sama-sama berambut
keriting, sama-sama berbahasa Jawa, sama aliran agamanya, dan
sebagainya. Namun itu berarti, sekaligus mengakui adanya pihak yang
berbeda di sisi lain. Kita sama-sama orang Indonesia, berarti ada
pihak yang bukan orang Indonesia. Kita sama-sama berbahasa Jawa,
berarti ada orang lain yang tidak berbahasa Jawa. Demikianlah,
perasaan adanya persamaan sekaligus menunjuk pada pengakuan akan
adanya perbedaan atau pluralitas. Pluralitas ini akan terus ada
sepanjang bumi masih berputar mengelilingi matahari. Perbedaan tempat
di bumi ini akan menciptakan macam-macam perbedaan baik secara fisik,
maupun cara menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya adalah
penghayatan keagamaan. Orang yang lahir dan hidup di kutup utara
tentu akan mempunyai ciri-ciri fisik dan cara hidup tertentu yang
berbeda dengan orang-orang yang tinggal di tempat yang lebih sering
terkena panas matahari.
Dalam
konteks hidup berbangsa, sejak awal bangsa Indonesia ini didirikan
dengan kesadaran akan adanya perbedaan. Mengapa bangsa ini menjadi
bangsa Indonesia, bukan bangsa Jawa, karena memang dimaksudkan bukan
hanya mewadahi satu suku, satu bahasa, atau satu agama saja. Sejak
awal para pendiri bangsa ini sadar bahwa bangsa yang akan dibentuk
ini terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, dan banyak perbedaan
lainnya. Namun demikian bangsa ini akan disatukan dalam komitmen
untuk mempunyai tanah air, dan mempunyai bahasa persatuan. Selebihnya
perbedaan adalah kenyataan yang mau tetap dihidupi bersama. Jadi yang
membentuk bangsa ini bukan kesatuan suku, atau kesatuan agama, tetapi
komitmen bersama untuk hidup bersatu dalam perbedaan. Meskipun
berbeda suku, bahasa, agama dan lain-lain tetapi mau membangun hidup
bersama sebagai saudara. Para pendiri bangsa telah sepakat untuk
menjadikan perbedaan yang ada sebagai sarana untuk membangun
kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka menghidupi semangat beda
ning rukun. Untuk itu, PANCASILA ditetapkan sebagai dasar negara.
Sebenarnya
Pancasila kalau kita cermati bukan merupakan hal yang aneh atau baru
dalam hidup bermasyarakat atau bernegara, bahkan merupakan keharusan
bagi hidup suatu bangsa. Pancasila sebagai filosofi bangsa dan negara
republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek
kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus
berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari
suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup
manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia (legal
society) atau masyarakat hukum. Adapun negara yang dirikan oleh
manusia itu, berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari
negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat
manusia sebagai makluk Tuhan Yang Mahaesa (hakekat sila pertama).
Negara pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan
martabat manusia sebagai makluk berbudaya dan beradab (hakekat
sila kedua). Untuk mencapai tujuan itu, negara membentuk ikatan
persekutuan bersama sebagai bangsa (hakekat sila ketiga).
Merupakan suatu keharusan bahwa negara harus bersifat demokratis,
yaitu hak serta kewajiban rakyat harus dijamin baik secara
individu maupun bersama (hakekat sila keempat). Kewajiban suatu
negara adalah mewujudkan terselengarannya kesejahteran dan
keadilan bagi seluruh rakyat (sila kelima).
Akhir-akhir
ini, rasanya komitmen bersama sebagai bangsa mulai ditinggalkan.
Kalau bangsa ini ada dan terbentuk sebagai buah komitmen bersama,
maka kalau komitmen tersebut ditinggalkan sebagai akibatnya bangsa
ini pun tidak ada (hancur). Sekarang ini dapat dengan mudah dilihat
adanya kelompok maupun perorangan yang memperjuangkan kepentingannya
sendiri di atas kepentingan bersama. Sektarianisme berdasarkan agama
atau suku mulai muncul. Kalau hal ini berjalan terus, kita tinggal
menunggu waktu untuk melihat hancurnya bangsa ini. Sebagai orang
beragama para pendahulu bangsa telah menetapkan KETUHANAN YANG MAHA
ESA sebagai sila pertama dalam PANCASILA. Akan tetapi, sebagian anak
bangsa ini telah mengubah sila pertama tersebut menjadi ke-uang-an
yang mahakuasa. Bukti dari hal tersebut adalah mereka yang
mempunyai uang dapat membeli hukum (contohnya Gayus sebagai tahanan
dapat plesir kemana-mana). Semangat kebersamaanlah yang
membuat bangsa ini dapat memerdekaan diri dari penjajah. Kalau
semangat kebersamaan ini sudah tidak kita miliki maka dengan mudah
kita akan terjajah oleh kepentingan-kepentingan asing yang hadir
menguasahi bangsa ini dengan berbagai bentuknya.
Pluralitas
sebagai tantangan
Di
banyak tempat dan kebudayaan di negara ini kebersamaan sangat
dijunjung tinggi. Bentuk-bentuk kebersamaan sungguh menjadi fondasi
yang kuat dalam pembentukan dan pembangunan masyarakat. Gotong-royong
salah satu wujud kebersamaan yang terbukti memampukan masyarakat bisa
bertahan menghadapi krisis ekonomi, juga masalah-masalah kemanusiaan
yang timbul karena bencana alam. Dengan demikian kebersamaan menjadi
kekuatan bagi kehidupan masyarakat kita.
Namun
demikian, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa dimana kebersamaan
ditekankan, perbedaan individu kurang mendapat tempat. Dalam
kehidupan masyarakat dapat terjadi bahwa demi kebersamaan hak-hak
individu dikorbankan. Ada situasi yang tercipta sedemikian rupa
sehingga berbeda pendapat dengan mayoritas pendapat masyarakat saja
sudah merupakan hal yang tabu. Situasi seperti tertulis di atas
banyak terjadi juga dalam komunitas-komunitas keagamaan. Penyeragaman
diciptakan demi sebuah harmoni kebersamaan. Sebagai akibatnya, orang
menjadi tidak terbiasa dengan perbedaan. Jika ada orang yang berbeda
pendapat maka dianggap nyleneh atau bahkan dianggap sebagai serangan
yang dapat menjadi gangguan bagi kebersamaan.
Alhasil
orang menjadi lebih nyaman atau lebih cenderung untuk selalu bersama
dengan teman yang tidak berbeda dalam banyak hal. Demi kenyamanan
tersebut maka dibangunlah perumahan atau perkampungan berdasarkan
agama tertentu. Atas nama kenyamanan yang serupa, kontrak warung yang
sudah disepakati oleh Ari dalam kasus di atas dibatalkan. Dalam
banyak kasus masalah yang dimbulkan karena perbedaan keagamaan
menjadi yang paling sering terjadi. Barangkali hal ini karena dalam
ajaran agama ada klaim kebenaran dan legitimasi-legitimasi yang tidak
dapat diganggu gugat. Karena orang tinggal bersama dengan orang-orang
yang sama entah dalam agama, atau suku, maka orang menjadi tidak
pernah berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku atau agama. Pun
akhirnya, orang tidak paham lagi mengenai cara hidup atau nilai-nilai
yang diyakini agama atau suku lain tersebut. Sebagai akibatnya, orang
mudah menjadi curiga kepada penganut agama atau suku lain secara
berlebihan.
Menjadikan
Perbedaan Sebagai Berkat
Sebagaimana
tertulis di atas bahwa hubungan antar agama selama ini masih diwarnai
oleh adanya prasangka negatif atau kecurigaan. Prasangka negatif
tersebut selain disebabkan oleh luka masa lalu juga didukung oleh
ketidaktahuan mengenai apa yang diyakini (agama) orang lain, dan
tiadanya perjumpaan (silaturrahmi) lintas agama. Tiadanya perjumpaan
dan ketidaktahuan membuat orang menduga-duga dan menafsirkan secara
keliru apa yang dibuat atau diyakini oleh saudara yang beriman lain.
Tidak jarang promosi yang salah mengenai agama orang lain sengaja
digembar-gemborkan demi “kebanggan semu” kelompok agamanya.
Dengan adanya perjumpaan lintas agama memungkinkan orang untuk
mengenal dan memahami orang lain, baik pribadi orang yang tersebut
maupun apa yang diyakininya (agama). Orang juga dapat belajar
mengenai apa yang baik dari agama orang lain, dan untuk selanjutnya
dapat memperkembangkan apa yang baik dalam agamanya sendiri.
Untuk
dapat belajar dari agama orang lain dibutuhkan sikap kesediaan untuk
menerima adanya perbedaan dalam hidup bersama. Sebagaimana tertulis
di atas perbedaan adalah realitas dunia dimana kita hidup yang tidak
dapat dipungkiri. Dunia tempat kita bersama hidup dibentuk oleh
macam-macam perbedaan yang membuat dunia menjadi indah seperti taman
bunga yang berwarna-warni. Di dunia ada macam-macam bahasa, warna
kulit, kebudayaan, dan lain-lain yang tidak bisa disamakan yang
membuat dunia ini disebut multi kultur. Demikian pula dalam
keyakinan, ada beratus-ratus bahkan ribuan keyakinan yang ada di
dunia ini. Adalah mustahil untuk menyamakan perbedaan keyakinan yang
ada. Kita harus belajar untuk menerima dan menghargai bahwa pada
kenyataannya orang lain berbeda dengan kita dalam banyak hal. Akan
menjadi kesulitan dalam hidup bersama apabila ada orang yang
memaksakan keyakinan dan kebenarannya. Menerima dan menghargai
keyakinan orang lain tidak berarti bahwa kita harus setuju dengan
keyakinan orang lain tersebut.
Dengan
belajar dari perbedaan tersebut kita memperkembangkan keber-agama-an
kita menjadi lebih baik, dan kita dapat lebih mewujudkan agama kita
dalam tindakan-tindakan bersama yang nyata. Dunia dimana kita hidup
dipenuhi dengan berbagai macam persoalan, baik persoalan kemanusian,
persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan, maupun persoalan ekosistem.
Selain persoalan kebangsaan yang menuntut kebersamaan dan komitmen
bersama, ada macam-macam persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan,
perdagangan perempuan, pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain yang
menuntut perhatian dan kerjasama lintas agama untuk bersama-sama
mengatasinya. Namun juga ada persoalan ekosistem seperti pengundulan
hutan, pemanasan global, banjir, kesulitan air bersih dan lain-lain
yang mendesak harus diperhatikan. Kiranya program kerjasama lintas
agama perlu dibuat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di
tengah kehidupan bersama.
Kata
akhir
Hidup
bersama akan menjadi indah andai mereka yang berbeda dapat bergandeng
tangan. Dunia kita akan menjadi lebih damai andai agama-agama yang
berbeda keyakinannya tidak saling bertentangan tetapi menjadi agen
yang membawa pembebasan bagi manusia dari persoalan-persoalan
kemanusiaan. Agama akan menjadi rahmat bagi semesta alam andai
agama-agama berlomba-lomba menciptakan perdamaian dalam hidup
bersama, dan saling bekerjasama untuk mengatasi persoalan-persoalan
kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan masalah lingkungan
hidup. Lebih lagi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang
kuat dan berjiwa besar kalau antar tokoh agama dan tokoh masyarakat
bisa bekerjasama dalam membangun semangat nasionalisme seperti sudah
ditunjukkan oleh Wahid Hasyim, Kasimo dan Natzir tokoh agama dan
pahlawan nasional Indonesia.
*Ketua Bidang Komunikasi Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Purwokerto