Minggu, 26 Februari 2012

Perbedaan: Rahmat atau Ancaman?

Robertus Suraji, M.A.*

Maaf mas, karena agama sampeyan berbeda dengan saya, maka kontrak saya batalkan”. Ari terhenyak mendengar suara bapak itu. Ia tidak menyangka kontrak warung yang telah disepakati dibatalkan karena alasan agama berbeda. Ari seorang pemuda lulusan SMP karena ketidakmampuan ekonomi keluarganya terpaksa berjualan bakso kelilingan. Sudah dua tahun ia mendorong gerobak bakso keliling kampung tiap sore hari. Kini setelah modal terkumpul, ia bermaksud membuka warung bakso dengan mengontrak sebuah warung. Harga kontrak telah disepekati, tetapi setelah si-empunya warung mengetahu agama Ari, kontrak tersebut dibatalkan. 
 
Saya tidak tahu apa ini sebuah kemajuan kesadaran keagamaan, atau kemunduran penghayatan nilai keagamaan. Dalam penalaran saya, kasus di atas memperlihatkan secara gamblang adanya kemunduran akan kesadaran mengenai hidup bersama dalam perbedaan. Hidup bersama dibatasi oleh adanya sekat yang namanya agama. Ini menjadi tantangan bagi kebinekaan dalam kesatuan yang sejak awal berdirinya bangsa Indonesia ini menjadi semboyan.

Pluralitas bangsa sebagai kenyataan
Gus Dur pernah cerita begini: Suatu kali KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat ketua partai NU dan Menteri Agama mendatangi rumah I.J. Kasimo yang saat itu menjabat sebagai ketua partai katolik dan Menteri Perekonomian. Wahid Hasyim mengajak Kasimo untuk membantu M. Natzir ketua partai Masyumi dan Menteri Penerangan yang saat itu sedang membangun rumah dan kesulitan biaya. Kisah yang sederhana, sangat manusiawi, tetapi sekaligus sangat indah. Tiga tokoh dari tiga aliran keagamaan dan politik yang berseberangan mampu hidup bersama dengan saling membantu. Dalam konteks jaman itu, peristiwa tersebut adalah peristiwa yang biasa, tidak terlalu istimewa, karena banyak orang juga melakukan hal seperti itu. Sekarang ini kerjasama dengan basis kemanusiaan lintas agama dan lintas partai seperti di atas menjadi hal yang langka dan luar biasa. Kisah seperti di atas, ketika saya masih kecil adalah hal biasa saya jumpai dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Perbedaan aliran keagamaan dan pandangan politik tidak menjadi halangan bagi orang untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah-masalah bersama di tengah masyarakat, khususnya masalah kemanusiaan. Ada semboyan yang dipegang bersama yaitu manungsa karo manungsa kuwi yen ketemu ngrembug perkara kamanungsan (manusia dengan manusia kalo bertemu mestinya bicara soal kemanusiaan). 
 
Berbicara soal kemanusiaan kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap manusia adalah unik adanya. Unik artinya bahwa tidak ada manusia yang sama persis baik fisik maupun psikis atau batinnya sekalipun mereka adalah kembar. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Barangkali beberapa orang dalam beberapa segi mempunyai kemiripan atau kesamaan, misalnya sama-sama orang Indonesia, sama-sama berambut keriting, sama-sama berbahasa Jawa, sama aliran agamanya, dan sebagainya. Namun itu berarti, sekaligus mengakui adanya pihak yang berbeda di sisi lain. Kita sama-sama orang Indonesia, berarti ada pihak yang bukan orang Indonesia. Kita sama-sama berbahasa Jawa, berarti ada orang lain yang tidak berbahasa Jawa. Demikianlah, perasaan adanya persamaan sekaligus menunjuk pada pengakuan akan adanya perbedaan atau pluralitas. Pluralitas ini akan terus ada sepanjang bumi masih berputar mengelilingi matahari. Perbedaan tempat di bumi ini akan menciptakan macam-macam perbedaan baik secara fisik, maupun cara menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya adalah penghayatan keagamaan. Orang yang lahir dan hidup di kutup utara tentu akan mempunyai ciri-ciri fisik dan cara hidup tertentu yang berbeda dengan orang-orang yang tinggal di tempat yang lebih sering terkena panas matahari. 
 
Dalam konteks hidup berbangsa, sejak awal bangsa Indonesia ini didirikan dengan kesadaran akan adanya perbedaan. Mengapa bangsa ini menjadi bangsa Indonesia, bukan bangsa Jawa, karena memang dimaksudkan bukan hanya mewadahi satu suku, satu bahasa, atau satu agama saja. Sejak awal para pendiri bangsa ini sadar bahwa bangsa yang akan dibentuk ini terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, dan banyak perbedaan lainnya. Namun demikian bangsa ini akan disatukan dalam komitmen untuk mempunyai tanah air, dan mempunyai bahasa persatuan. Selebihnya perbedaan adalah kenyataan yang mau tetap dihidupi bersama. Jadi yang membentuk bangsa ini bukan kesatuan suku, atau kesatuan agama, tetapi komitmen bersama untuk hidup bersatu dalam perbedaan. Meskipun berbeda suku, bahasa, agama dan lain-lain tetapi mau membangun hidup bersama sebagai saudara. Para pendiri bangsa telah sepakat untuk menjadikan perbedaan yang ada sebagai sarana untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka menghidupi semangat beda ning rukun. Untuk itu, PANCASILA ditetapkan sebagai dasar negara. 
 
Sebenarnya Pancasila kalau kita cermati bukan merupakan hal yang aneh atau baru dalam hidup bermasyarakat atau bernegara, bahkan merupakan keharusan bagi hidup suatu bangsa. Pancasila sebagai filosofi bangsa dan negara republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia (legal society) atau masyarakat hukum. Adapun negara yang dirikan oleh manusia itu, berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai makluk Tuhan Yang Mahaesa (hakekat sila pertama). Negara pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makluk berbudaya dan beradab (hakekat sila kedua). Untuk mencapai tujuan itu, negara membentuk ikatan persekutuan bersama sebagai bangsa (hakekat sila ketiga). Merupakan suatu keharusan bahwa negara harus bersifat demokratis, yaitu hak serta kewajiban rakyat harus dijamin baik secara individu maupun bersama (hakekat sila keempat). Kewajiban suatu negara adalah mewujudkan terselengarannya kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat (sila kelima). 
 
Akhir-akhir ini, rasanya komitmen bersama sebagai bangsa mulai ditinggalkan. Kalau bangsa ini ada dan terbentuk sebagai buah komitmen bersama, maka kalau komitmen tersebut ditinggalkan sebagai akibatnya bangsa ini pun tidak ada (hancur). Sekarang ini dapat dengan mudah dilihat adanya kelompok maupun perorangan yang memperjuangkan kepentingannya sendiri di atas kepentingan bersama. Sektarianisme berdasarkan agama atau suku mulai muncul. Kalau hal ini berjalan terus, kita tinggal menunggu waktu untuk melihat hancurnya bangsa ini. Sebagai orang beragama para pendahulu bangsa telah menetapkan KETUHANAN YANG MAHA ESA sebagai sila pertama dalam PANCASILA. Akan tetapi, sebagian anak bangsa ini telah mengubah sila pertama tersebut menjadi ke-uang-an yang mahakuasa. Bukti dari hal tersebut adalah mereka yang mempunyai uang dapat membeli hukum (contohnya Gayus sebagai tahanan dapat plesir kemana-mana). Semangat kebersamaanlah yang membuat bangsa ini dapat memerdekaan diri dari penjajah. Kalau semangat kebersamaan ini sudah tidak kita miliki maka dengan mudah kita akan terjajah oleh kepentingan-kepentingan asing yang hadir menguasahi bangsa ini dengan berbagai bentuknya.

Pluralitas sebagai tantangan
Di banyak tempat dan kebudayaan di negara ini kebersamaan sangat dijunjung tinggi. Bentuk-bentuk kebersamaan sungguh menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan dan pembangunan masyarakat. Gotong-royong salah satu wujud kebersamaan yang terbukti memampukan masyarakat bisa bertahan menghadapi krisis ekonomi, juga masalah-masalah kemanusiaan yang timbul karena bencana alam. Dengan demikian kebersamaan menjadi kekuatan bagi kehidupan masyarakat kita. 
 
Namun demikian, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa dimana kebersamaan ditekankan, perbedaan individu kurang mendapat tempat. Dalam kehidupan masyarakat dapat terjadi bahwa demi kebersamaan hak-hak individu dikorbankan. Ada situasi yang tercipta sedemikian rupa sehingga berbeda pendapat dengan mayoritas pendapat masyarakat saja sudah merupakan hal yang tabu. Situasi seperti tertulis di atas banyak terjadi juga dalam komunitas-komunitas keagamaan. Penyeragaman diciptakan demi sebuah harmoni kebersamaan. Sebagai akibatnya, orang menjadi tidak terbiasa dengan perbedaan. Jika ada orang yang berbeda pendapat maka dianggap nyleneh atau bahkan dianggap sebagai serangan yang dapat menjadi gangguan bagi kebersamaan. 
 
Alhasil orang menjadi lebih nyaman atau lebih cenderung untuk selalu bersama dengan teman yang tidak berbeda dalam banyak hal. Demi kenyamanan tersebut maka dibangunlah perumahan atau perkampungan berdasarkan agama tertentu. Atas nama kenyamanan yang serupa, kontrak warung yang sudah disepakati oleh Ari dalam kasus di atas dibatalkan. Dalam banyak kasus masalah yang dimbulkan karena perbedaan keagamaan menjadi yang paling sering terjadi. Barangkali hal ini karena dalam ajaran agama ada klaim kebenaran dan legitimasi-legitimasi yang tidak dapat diganggu gugat. Karena orang tinggal bersama dengan orang-orang yang sama entah dalam agama, atau suku, maka orang menjadi tidak pernah berkomunikasi dengan orang yang berbeda suku atau agama. Pun akhirnya, orang tidak paham lagi mengenai cara hidup atau nilai-nilai yang diyakini agama atau suku lain tersebut. Sebagai akibatnya, orang mudah menjadi curiga kepada penganut agama atau suku lain secara berlebihan.

Menjadikan Perbedaan Sebagai Berkat
Sebagaimana tertulis di atas bahwa hubungan antar agama selama ini masih diwarnai oleh adanya prasangka negatif atau kecurigaan. Prasangka negatif tersebut selain disebabkan oleh luka masa lalu juga didukung oleh ketidaktahuan mengenai apa yang diyakini (agama) orang lain, dan tiadanya perjumpaan (silaturrahmi) lintas agama. Tiadanya perjumpaan dan ketidaktahuan membuat orang menduga-duga dan menafsirkan secara keliru apa yang dibuat atau diyakini oleh saudara yang beriman lain. Tidak jarang promosi yang salah mengenai agama orang lain sengaja digembar-gemborkan demi “kebanggan semu” kelompok agamanya. Dengan adanya perjumpaan lintas agama memungkinkan orang untuk mengenal dan memahami orang lain, baik pribadi orang yang tersebut maupun apa yang diyakininya (agama). Orang juga dapat belajar mengenai apa yang baik dari agama orang lain, dan untuk selanjutnya dapat memperkembangkan apa yang baik dalam agamanya sendiri.

Untuk dapat belajar dari agama orang lain dibutuhkan sikap kesediaan untuk menerima adanya perbedaan dalam hidup bersama. Sebagaimana tertulis di atas perbedaan adalah realitas dunia dimana kita hidup yang tidak dapat dipungkiri. Dunia tempat kita bersama hidup dibentuk oleh macam-macam perbedaan yang membuat dunia menjadi indah seperti taman bunga yang berwarna-warni. Di dunia ada macam-macam bahasa, warna kulit, kebudayaan, dan lain-lain yang tidak bisa disamakan yang membuat dunia ini disebut multi kultur. Demikian pula dalam keyakinan, ada beratus-ratus bahkan ribuan keyakinan yang ada di dunia ini. Adalah mustahil untuk menyamakan perbedaan keyakinan yang ada. Kita harus belajar untuk menerima dan menghargai bahwa pada kenyataannya orang lain berbeda dengan kita dalam banyak hal. Akan menjadi kesulitan dalam hidup bersama apabila ada orang yang memaksakan keyakinan dan kebenarannya. Menerima dan menghargai keyakinan orang lain tidak berarti bahwa kita harus setuju dengan keyakinan orang lain tersebut. 
 
Dengan belajar dari perbedaan tersebut kita memperkembangkan keber-agama-an kita menjadi lebih baik, dan kita dapat lebih mewujudkan agama kita dalam tindakan-tindakan bersama yang nyata. Dunia dimana kita hidup dipenuhi dengan berbagai macam persoalan, baik persoalan kemanusian, persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan, maupun persoalan ekosistem. Selain persoalan kebangsaan yang menuntut kebersamaan dan komitmen bersama, ada macam-macam persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, perdagangan perempuan, pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain yang menuntut perhatian dan kerjasama lintas agama untuk bersama-sama mengatasinya. Namun juga ada persoalan ekosistem seperti pengundulan hutan, pemanasan global, banjir, kesulitan air bersih dan lain-lain yang mendesak harus diperhatikan. Kiranya program kerjasama lintas agama perlu dibuat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di tengah kehidupan bersama.

Kata akhir
Hidup bersama akan menjadi indah andai mereka yang berbeda dapat bergandeng tangan. Dunia kita akan menjadi lebih damai andai agama-agama yang berbeda keyakinannya tidak saling bertentangan tetapi menjadi agen yang membawa pembebasan bagi manusia dari persoalan-persoalan kemanusiaan. Agama akan menjadi rahmat bagi semesta alam andai agama-agama berlomba-lomba menciptakan perdamaian dalam hidup bersama, dan saling bekerjasama untuk mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan masalah lingkungan hidup. Lebih lagi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan berjiwa besar kalau antar tokoh agama dan tokoh masyarakat bisa bekerjasama dalam membangun semangat nasionalisme seperti sudah ditunjukkan oleh Wahid Hasyim, Kasimo dan Natzir tokoh agama dan pahlawan nasional Indonesia.
*Ketua Bidang Komunikasi Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Purwokerto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar