Sabtu, 25 Februari 2012

Halal bi Halal, Momentum Memaafkan

Dr. HM. Najib, M.Hum*


Ketika merayakan lebaran, umat Islam larut dalam rasa suka cita. Silaturahmi yang berangkat dari sentuhan kemanusiaan yang mendalam menjadi sebuah ritus keniscayaan. Pada saat silaturahmi, orang begitu gampang saling memaafkan sehingga kerendahatian betul-betul menyejukkan kalbu. Kondisi ideal yang demikian merupakan puncak dari sebuah perjalanan spiritual, yang ditempuh dengan menahan rasa lapar dan dahaga selama Ramadan. Ujungnya adalah tercapainya atmosfer batiniah-esoteris di mana segenap orang-orang beriman yang berpuasa bakal kembali kepada kesucian ('idulfithri).

Kegemilangan merampungkan ibadah ramadan akan menjadi batu loncatan terwujudnya spirit egaliterianisme dalam Islam; semangat yang sangat menjunjung tinggi persamaan dengan tidak berlaku diskriminatif kepada sesama hamba Tuhan. Salah satu ibadah yang sangat otoritatif dan relevan dalam meneguhkan semangat egaliter ini adalah kesudian untuk saling memaafkan.

Pada hari lebaran itu, antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi disebut hari lebaran. Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain. Hal ini harus segera minta maaf, kepada orang tersebut. Allah lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Q.S. 3: 134)

Para ulama di jawa tampaknya ingin mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk rneningkatkan iman dan taqwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya diwaktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya terhapus jika dia masih bersalah kepada orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka ?
Nah, disinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu antar lain perlunya saiing memaafkan yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Dengan demikian, karena puasa telah lebar (selesai) dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).

Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini merupakan refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.

Sebagai sebuah tradisi khas, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Firman Allah (Q.S. 3: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang Iain. Dari ayat tersebut, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan.

Dapat dimengerti, bahwa tradisi lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antar unsure budaya Jawa dan budaya Islam. Sampai tahap ini, halal bihalal telah berfiingsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat dari berbagai tingkatan sampai pada lintas agama yang dilaksanakan baik oleh kelompok-kelompok keluarga, ormas, bahkan instansi swasta juga pemerintahan. Dengan adanya acara saiing memaafkan, maka hubungan dalam masyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeiuargaan. Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihaiai perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita tercinta sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.

Perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain tidak semata-mata diiakukan saat lebaran, akan tetapi harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihaial yang merupakan tradisi khas, merefleksikan bahwa Islam merupakan agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling ber!omba-lomba dalam kebajikan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah (Q.S. 2:148), "maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan".. Titik tekan ayat tersebut adalah pada kebaikan dan perilaku yang berorientasi pada nilai.

Berangkat dari makna halal-bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan sal ing berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia. Akhirnya, Islam di wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini merupakan rohmatan liFalamin membawa kenyaman, kedamaian serta keraajuanbangsa Indonesia.
*Dewan Pembina Agama Islam FKUB Banyumas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar