Dr.
HM. Najib, M.Hum*
Ketika
merayakan lebaran, umat Islam larut dalam rasa suka cita. Silaturahmi
yang berangkat dari sentuhan kemanusiaan yang mendalam menjadi sebuah
ritus keniscayaan. Pada saat silaturahmi, orang begitu gampang saling
memaafkan sehingga kerendahatian betul-betul menyejukkan kalbu.
Kondisi ideal yang demikian merupakan puncak dari sebuah perjalanan
spiritual, yang ditempuh dengan menahan rasa lapar dan dahaga selama
Ramadan. Ujungnya adalah tercapainya atmosfer batiniah-esoteris di
mana segenap orang-orang beriman yang berpuasa bakal kembali kepada
kesucian ('idulfithri).
Kegemilangan
merampungkan ibadah ramadan akan menjadi batu loncatan terwujudnya
spirit egaliterianisme dalam Islam; semangat yang sangat menjunjung
tinggi persamaan dengan tidak berlaku diskriminatif kepada sesama
hamba Tuhan. Salah satu ibadah yang sangat otoritatif dan relevan
dalam meneguhkan semangat egaliter ini adalah kesudian untuk saling
memaafkan.
Pada
hari lebaran itu, antara seorang dengan yang lain perlu saling
memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara
kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi disebut hari lebaran.
Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan
waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan,
melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada
orang lain. Hal ini harus segera minta maaf, kepada orang tersebut.
Allah lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain
(Q.S. 3: 134)
Para
ulama di jawa tampaknya ingin mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain
untuk rneningkatkan iman dan taqwa, juga mengharapkan agar
dosa-dosanya diwaktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang
yang merasa berdosa kepada Allah bisa langsung mohon pengampunan
kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya terhapus jika dia masih
bersalah kepada orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka ?
Nah,
disinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu antar
lain perlunya saiing memaafkan yang kemudian dilaksanakan secara
kolektif dalam bentuk halal bihalal. Dengan demikian, karena puasa
telah lebar (selesai) dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).
Dosa
yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap
sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan,
pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting
untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Budaya
saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena
ini merupakan refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap
persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.
Sebagai
sebuah tradisi khas, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis?
Firman Allah (Q.S. 3: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim
yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari
perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan
berbuat kebajikan terhadap orang Iain. Dari ayat tersebut, selain
berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat
diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi
melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang
baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang
dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan
menyenangkan.
Dapat
dimengerti, bahwa tradisi lebaran berikut halal bihalal merupakan
perpaduan antar unsure budaya Jawa dan budaya Islam. Sampai tahap
ini, halal bihalal telah berfiingsi sebagai media pertemuan dari
segenap warga masyarakat dari berbagai tingkatan sampai pada lintas
agama yang dilaksanakan baik oleh kelompok-kelompok keluarga, ormas,
bahkan instansi swasta juga pemerintahan. Dengan adanya acara saiing
memaafkan, maka hubungan dalam masyarakat menjadi lebih akrab dan
penuh kekeiuargaan. Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif
bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal
bihaiai perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada
akhir-akhir ini di negeri kita tercinta sering terjadi konflik sosial
yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.
Perintah
untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain tidak
semata-mata diiakukan saat lebaran, akan tetapi harus berkelanjutan
dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihaial yang merupakan tradisi
khas, merefleksikan bahwa Islam merupakan agama toleran, yang
mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan
agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi
hanyalah sebagai sarana untuk saling ber!omba-lomba dalam kebajikan.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah (Q.S. 2:148), "maka
berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan".. Titik tekan
ayat tersebut adalah pada kebaikan dan perilaku yang berorientasi
pada nilai.
Berangkat
dari makna halal-bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal
Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan sal ing
berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim
Indonesia. Akhirnya, Islam di wilayah Republik Indonesia yang kita
cintai ini merupakan rohmatan liFalamin membawa kenyaman, kedamaian
serta keraajuanbangsa Indonesia.
*Dewan
Pembina Agama Islam FKUB Banyumas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar